inulwara.blogspot.com |
Puisi yang ramai diperbincangkan ini ternyata sebuah karya yang ditulis oleh akun Facebook Noveas Banjarayse. Belakangan diketahui nama aslinya adalah Nove Arisandi, warga Hulu Sungai Tengah (HST). seorang Research Assistant pada fakultas Pertanian, ULM. Dia menulisnya sekitar tahun 2016 silam. Puisi yang ia tulis menggambarkan tentang keadaan wilayah HST yang akan merasakan dampak terburuk jika eksploitasi tambang dilakukan.
Berikut adalah puisi yang ia tulis dan dedikasikan untuk kota kelahiran tercintanya, HST.
AMUK BUKIT
Terdengar hentak tandik sang balian
Disela belaian mantra meratus
Bukit alai yang dulu hijau
Bukit alai yang dulu rindang
Kini hampir kehilangan tanduk
Aku bertanya
Wahai para roh bukit
Siasia banua, bubuhan aing, dan kariau
Ada apa dengan bukit alai ?
Apa yang salah dengan bukit alai ?
hingga tak ada keselarasan
Isi yang dikandungnya
Roh bukit berkata
Kau buka baju ku
Kau belai tubuh Ku
Dengan nafsu yang menjadi-jadi
Perkosalah aku perkosalah aku
Tebas cabik tubuh ku
Terkam bongkar isi perut ku
Sepuas ruang nafsumu
Wahai manusia
Kau lempar tubuh ku
Diketinggian gunung halau-halau
Sampai sayap ini patah diatas awan
Melintasi sahabat senasib
Dengan air mata terus mengucur
Dikala terlihat bukit alai sirna tanpa suara
Maka terimalah dendam kusumat ku
Bumi Murakata beserta isinya akan
Ku tenggelamkan, sedalam samudra
Hingga lenyap kota Paris Van Borneo
Terimalah laknat biadap ku
Semua desa akan sirna
Terkubur ditanah harum hunjur banua
Sesirna-sirnanya sehingga tak ada lagi
Barabai, Batang Alai, Batu Benawa, Haruyan,
Labuan amas, limpasu, pandawan, dan hantakan
Semua terlahap tanpa sisa
Hilang dari peta kemanusiaan
Terimalah gelagak air hitam ini
Emosi dan amarah sebagai tumbal dan ganjaran
Atas keserakahan, kerakusan kau
Berbuat sewenang-wenang dengan harmoni meratus ini
Kau ku makan sampai ke perut lilit
Kau ku lumat lalu dikunyah hingga
Lebur tanpa bentuk
Jangan kalian cari
Tempat untuk mengungsi sebab semua tempat
Sudah lenyap dalam amukan diri sang bukit alai
Tiada guna kalian berlari
Berlari seribu langkah
Mencari kapal Nabi Nuh penyelamat nyawa
Jangan kau cari rahim-rahim kehidupan
Sebab kehidupan telah tiada
Semua telah kami tamatkan
Maka terimalah amukan sang bukit alai ini
Karenamu aku terbangun
Karenamu aku mengamuk
Nove Arisandi
Banjarbaru, 20 Oktober 2016
#savemeratus
Puisi ini belakangan menjadi viral di media sosial setelah keluarnya surat keputusan dari menteri ESDM nomor 441.K/30/DJB/2017 tertanggal 4 Desember 2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Mantimin Coal Mining Menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi.
AMUK BUKIT
Terdengar hentak tandik sang balian
Disela belaian mantra meratus
Bukit alai yang dulu hijau
Bukit alai yang dulu rindang
Kini hampir kehilangan tanduk
Aku bertanya
Wahai para roh bukit
Siasia banua, bubuhan aing, dan kariau
Ada apa dengan bukit alai ?
Apa yang salah dengan bukit alai ?
hingga tak ada keselarasan
Isi yang dikandungnya
Roh bukit berkata
Kau buka baju ku
Kau belai tubuh Ku
Dengan nafsu yang menjadi-jadi
Perkosalah aku perkosalah aku
Tebas cabik tubuh ku
Terkam bongkar isi perut ku
Sepuas ruang nafsumu
Wahai manusia
Kau lempar tubuh ku
Diketinggian gunung halau-halau
Sampai sayap ini patah diatas awan
Melintasi sahabat senasib
Dengan air mata terus mengucur
Dikala terlihat bukit alai sirna tanpa suara
Maka terimalah dendam kusumat ku
Bumi Murakata beserta isinya akan
Ku tenggelamkan, sedalam samudra
Hingga lenyap kota Paris Van Borneo
Terimalah laknat biadap ku
Semua desa akan sirna
Terkubur ditanah harum hunjur banua
Sesirna-sirnanya sehingga tak ada lagi
Barabai, Batang Alai, Batu Benawa, Haruyan,
Labuan amas, limpasu, pandawan, dan hantakan
Semua terlahap tanpa sisa
Hilang dari peta kemanusiaan
Terimalah gelagak air hitam ini
Emosi dan amarah sebagai tumbal dan ganjaran
Atas keserakahan, kerakusan kau
Berbuat sewenang-wenang dengan harmoni meratus ini
Kau ku makan sampai ke perut lilit
Kau ku lumat lalu dikunyah hingga
Lebur tanpa bentuk
Jangan kalian cari
Tempat untuk mengungsi sebab semua tempat
Sudah lenyap dalam amukan diri sang bukit alai
Tiada guna kalian berlari
Berlari seribu langkah
Mencari kapal Nabi Nuh penyelamat nyawa
Jangan kau cari rahim-rahim kehidupan
Sebab kehidupan telah tiada
Semua telah kami tamatkan
Maka terimalah amukan sang bukit alai ini
Karenamu aku terbangun
Karenamu aku mengamuk
Nove Arisandi
Banjarbaru, 20 Oktober 2016
#savemeratus
Puisi ini belakangan menjadi viral di media sosial setelah keluarnya surat keputusan dari menteri ESDM nomor 441.K/30/DJB/2017 tertanggal 4 Desember 2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Mantimin Coal Mining Menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi.
Dalam surat tersebut disebutkan bahwa status kegiatan operasi produksi penambangan batubara mencakup 3 (tiga) wilayah kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan, meliputi: Kabupaten Tabalong, Balangan, dan HST. Sontak, warga HST yang mengetahui surat tersebut dibikin geram dan menentang keras keputusan yang dinilai sepihak itu.
HST adalah salah satu kabupaten yang tergabung dalam wilayah Banua 6 (sebutan khusus untuk wilayah hulu sungai) yang sampai saat ini masih perawan dari eksploitasi penambangan maupun perkebunan sawit. Hal ini bukan tanpa dasar sebab warga murakata (sebutan khusus untuk warga HST) dan Pemkab beserta seluruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkomitmen untuk terus mempertahankan keasrian alamnya dan menolak segala bentuk eksploitasi di bumi murakata.
Keluarnya surat keputusan dari kementerian ESDM itu membuat warga murakata berang dan marah karena dinilai merupakan sebuah keputusan sepihak sebab Pemkab sendiri telah mengkonfirmasi jika tidak pernah mengeluarkan surat persetujuan perizinan AMDAL.
Pertentangan dan penolakan eksploitasi penambangan khususnya di kabupaten HST tidak hanya sekedar retorika saja, hampir semua timeline di akun-akun media sosial menyatakan penolakannya bahkan diimplementasikan lewat petisi online pada halaman change.org. Bukti penolakan yang nyata juga dideskripsikan oleh mereka lewat demontrasi dan unjuk rasa beberapa hari terakhir di depan gedung pemerintahan dan DPRD baik Pemprov maupun Pemkab. Mereka juga mengadakan kajian ilmiah berupa diskusi umum tentang penolakan penambangan di HST yang diselenggarakan di beberapa tempat perguruan tinggi.
Mudah-mudahan dengan banyaknya warga yang menentang rencana eksploitasi penambangan batubara ini menjadi perhatian serius bagi penguasa untuk mendengar aspirasi rakyatnya, amiin.
EmoticonEmoticon